Jumat, 04 Februari 2011

Adab Bergaul dengan Lawan Jenis

E-mailCetakPDF
Dilahirkan sebagai seorang wanita adalah anugerah yang sangat indah dari Allah Ta’ala. Sebuah anugerah yang tidak dimiliki oleh seorang pria.Terlebih anugerah itu bertambah menjadi muslimah yang mukminah yaitu wanita muslimah yang beriman kepada Allah.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ
Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang shalihah.” (HR. Muslim)
Menjadi wanita muslimah yang beriman kepada Allah tentu tidak mudah,karena banyak sekali godaan-godan dalam mencapainya. Dikarenakan  balasan yang Allah janjikan pun tidak terbandingkan dan semua wanita pun menginginkannya. Godaan-godaan untuk menjadi wanita shalihah sering kali datang dan menggebu-gebu saat kita menginjak usia remaja,di mana masa puberitas seorang wanita ada di masa ini. Bukan hal yang mudah pula bagi remaja muslim dalam melewati masa ini, namun sungguh sangat indah bagi para remaja yang bisa dikatakan lulus dalam melewati masa pubertas yang penuh godaan ini.

Salah satu godaan yang amat besar pada usia remaja adalah “rasa ketertarikan terhadap lawan jenis”. Memang, rasa tertarik terhadap lawan jenis adalah fitrah manusia, baik wanita atau lelaki. Namun kalau kita tidak bisa memenej perasaan tersebut,maka akan menjadi mala petaka yang amat besar,baik untuk diri sendiri ataupun untuk orang yang kita sukai. Sudah Allah tunjukkan dalam sebuah hadist Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ
Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.” (HR. Muslim)

Sebagai wanita muslimah kita harus yakin bahwa kehormatan kita harus dijaga dan dirawat, terlebih ketika berkomunikasi atau bergaul dengan lawan jenis agar tidak ada mudhorot (bahaya) atau bahkan fitnah. Di bawah ini akan kami ungkapkan adab-adab bergaul  dengan lawan jenis. Di antaranya:

Pertama: Dilarang untuk berkholwat (berdua-duan)
TTM, teman tapi mesra, kemana-mana bareng, ke kantin bareng, berangkat sekolah bareng, pulang sekolah bareng. Hal ini merupakan gambaran remaja umumnya saat ini,di mana batas-batas pergaulan di sekolah umum sudah sangat tidak wajar dan melanggar prinsip Islam. Namun tidak mengapa kita sekolah di sekolah umum jika tetap bisa menjaga adb-adab bergaul dengan lawan jenis. Jika ada seorang laki-laki berduaan dengan seorang perempuan maka yang ketiga sebagai pendampingnya adalah setan.
Dari ‘Umar bin Al Khottob, ia berkhutbah di hadapan manusia di Jabiyah (suatu perkampungan di Damaskus), lalu ia membawakan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ يَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ بِامْرَأَةٍ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ ثَالِثُهُمَا
Janganlah salah seorang diantara kalian berduaan dengan seorang wanita (yang bukan mahramnya) karena setan adalah orang ketiganya, maka barangsiap yang bangga dengan kebaikannya dan sedih dengan keburukannya maka dia adalah seorang yang mukmin." (HR. Ahmad, sanad hadits ini shahih)
Daripada setan yang menemani kita lebih baik malaikat bukan? Ngaji,membaca Al Quran dan memahami artinya serta menuntut ilmu agama InsyaAllah malaikatlah yang akan mendampingi kita.Tentu sebagai wanita yang cerdas, kita akan lebih memilih untuk didampingi oleh malaikat.

Kedua: Menundukkan pandangan
Pandangan laki-laki terhadap perempuan atau sebaliknya adalah termasuk panah-panah setan. Kalau cuma sekilas saja atau spontanitas atau tidak sengaja maka tidak menjadi masalah pandangan mata tersebut, pandangan pertama yang tidak sengaja diperbolehkan namun selanjutnya adalah haram.Ketika melihat lawan jenis,maka cepatlah kita tundukkan pandangan itu, sebelum iblis memasuki atau mempengaruhi pikiran dan hati kita. Segera  mohon pertolongan kepada Allah agar kita tidak mengulangi pandangan itu.
Dari Jarir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِى أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى.
"Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengenai pandangan yang tidak di sengaja. Maka beliau memerintahkanku supaya memalingkan pandanganku." (HR. Muslim)

Ketiga: Jaga aurat terhadap lawan jenis
Jagalah aurat kita dari pandangan laki-laki yang bukan mahramnya. Maksudnya mahram di sini adalah laki-laki yang haram untuk menikahi kita. Yang tidak termasuk mahram seperti teman sekolah, teman bermain, teman pena bahkan teman dekat pun kalau dia bukan mahram kita, maka kita wajib menutup aurat kita dengan sempurna. Maksud sempurna di sini yaitu kita menggunakan jilbab yang menjulur ke seluruh  tubuh kita dan menutupi dada. Kain yang dimaksud pun adalah kain yang disyariatkan, misal kainnya tidak boleh tipis, tidak boleh sempit, dan tidak membentuk lekuk tubuh kita. Adapun yang bukan termasuk aurat dari seorang wanita adalah kedua telapak tangan dan muka atau wajah.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتِ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ
"Wanita itu adalah aurat. Jika dia keluar maka setan akan memperindahnya di mata laki-laki." (HR. Tirmidzi, shahih)

Keempat: Tidak boleh ikhtilat (campur baur antara wanita dan pria)
Ikhtilat itu adalah campur baurnya seorang wanita dengan laki-laki di satu tempat tanpa ada hijab. Di mana ketika tidak ada hijab atau kain pembatas masing-masing wanita atau lelaki tersebut bisa melihat lawan jenis dengan sangat mudah dan sesuka hatinya. Tentu kita sebagai wanita muslimah tidak mau dijadikan obyek pandangan oleh banyak laki-laki bukan? Oleh karena itu kita harus menundukkan pandangan,demikian pun yang laki-laki mempunyai kewajiban yang sama untuk menundukkan pandangannya terhadap wanita yang bukan mahramnya, karena ini adalah perintah Allah dalam Al Qur’an dan akan menjadi berdosa bila kita tidak mentaatinya.

Kelima: Menjaga kemaluan
Menjaga kemaluan juga bukan hal yang mudah,karena dewasa ini banyak sekali remaja yamng terjebak ke dalam pergaulan dan seks bebas. Sebagai muslim kita wajib tahu bagaimana caranya menjaga kemaluan. Caranya antara lain dengan tidak melihat gambar-gambar yang senonoh atau membangkitkan nafsu syahwat, tidak terlalu sering membaca atau menonton kisah-kisah percintaan, tidak terlalu sering berbicara atau berkomunikasi dengan lawan jenis, baik bicara langsung (tatap muka) ataupun melalui telepon, SMS, chatting, YM dan media komunikasi lainnya.
Sudah selayaknya sebagai seorang muslim-muslimah baik remaja atau dewasa, kita mempunyai niat yang sungguh-sungguh untuk mematuhi adab-adab bergaul dengan lawan jenis tersebut. Semoga Allah memudahkan usaha kita. Amin.

SUMBER :http://remajaislam.com/gaya-muda/cinta/38-adab-bergaul-dengan-lawan-jenis.html

Kejelekan Selalu Menggelisahkan Hati

E-mailCetakPDF
Kebaikan selalu menentramkan jiwa dan kejelekan selalu menggelisahkan jiwa. Itulah realita yang ada pada umumnya manusia.
Dari cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Al Hasan bin ‘Ali, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tinggalkanlah yang meragukanmu dan beralihlah pada apa yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya kejujuran lebih menenangkan jiwa, sedangkan dusta (menipu) akan menggelisahkan jiwa.” (HR. Tirmidzi no. 2518 dan Ahmad 1/200, shahih) Dalam lafazh lain disebutkan, “Kebaikan selalu mendatangkan ketenangan, sedangkan kejelekan selalu mendatangkan kegelisahan.” (HR. Al Hakim 2/51, shahih)
Dalam hadits lainnya, dari Nawas bin Sam’an, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kebaikan adalah dengan berakhlak yang mulia. Sedangkan kejelekan (dosa) adalah sesuatu yang menggelisahkan jiwa. Ketika kejelekan tersebut dilakukan, tentu engkau tidak suka hal itu nampak di tengah-tengah manusia.” (HR. Muslim no. 2553). An Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Dosa selalu menggelisahkan dan tidak menenangkan bagi jiwa. Di hati pun akan tampak tidak tenang dan selalu khawatir akan dosa.” (Syarh Muslim, 16/111)

Sampai-sampai jika seseorang dalam keadaan bingung, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan menanyakan pada hatinya, apakah perbuatan tersebut termasuk dosa ataukah tidak. Ini terjadi tatkala hati dalam keadaan gundah gulana dan belum menemukan bagaimanakah hukum suatu masalah. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasehatkan pada Wabishoh, “Mintalah fatwa pada jiwamu. Mintalah fatwa pada hatimu (beliau mengatakannya sampai tiga kali). Kebaikan adalah sesuatu yang menenangkan jiwa dan menentramkan hati. Sedangkan kejelekan (dosa) selalu menggelisahkan jiwa dan menggoncangkan hati.” (HR. Ad Darimi 2/320 dan Ahmad 4/228, hasan lighoirihi)

Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah menjelaskan, “Hadits Wabishoh dan yang semakna dengannya menunjukkan agar kita selalu merujuk pada hati ketika ada sesuatu yang merasa ragu. Jika jiwa dan hati begitu tenang, itu adalah suatu kebaikan dan halal. Namun jika hati dalam keadaan gelisah, maka itu berarti termasuk suatu dosa atau keharaman” (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 304). Ingatlah bahwasanya hadits Wabishoh dimaksudkan untuk perbuatan yang belum jelas halal atau haram, termasuk dosa ataukah bukan. Sedangkan jika sesuatu sudah jelas halal dan haramnya, maka tidak perlu lagi merujuk pada hati.
Demikianlah yang namanya dosa, selalu menggelisahkan jiwa, membuat hidup tidak tenang. Jika seseorang mencuri, menipu, berbuat kecurangan, korupsi, melakukan dosa besar bahkan melakukan suatu kesyirikan, jiwanya sungguh sulit untuk tenang.

Lantas bagaimana jika ada yang melakukan dosa malah hatinya begitu tentram-tentram saja? Jawabannya, bukan perbuatan dosa atau maksiat dibenarkan. Yang benar adalah itulah keadaan hati yang penuh kekotoran, yang telah tertutupi dengan noda hitam karena tidak kunjung berhenti dari maksiat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.” (QS. Al Muthoffifin: 14). Jika hati terus tertutupi karena maksiat, maka sungguh sulit mendapatkan petunjuk dan melakukan kebaikan. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Jika hati sudah semakin gelap, maka amat sulit untuk mengenal petunjuk kebenaran” (Ad Daa’ wad Dawaa’, hal. 107).
Allahumma inni as-aluka fi’lal khoiroot, wa tarkal munkaroot. Ya Allah, aku memohon kepada-Mu untuk mudah melakukan berbagai kebajikan dan meninggalkan berbagai kemungkaran (HR. Tirmidzi no. 3233, shahih). (*)
sumber: http://remajaislam.com/islam-dasar/menata-hati/82-kejelekan-selalu-menggelisahkan-hati.html

Hati-Hati dengan Lisanmu


Saudaraku, seringkali lisan ini tergelincir mengucapkan kata-kata kotor, mencela orang lain, membicarakan orang lain padahal dia tidak senang untuk diceritakan, bahkan seringkali lisan ini mengucapkan kata-kata yang mengandung kesyirikan dan kekufuran.
Harusnya setiap muslim mengoreksi diri dalam setiap tingkah lakunya, apalagi dalam perkara lisannya, yang begitu enteng mengucapkan sesuatu karena keluar dari lidah yang tak bertulang.


Ingatlah saudaraku, setiap yang kita ucapkan, mencakup perkataan yang baik, yang buruk juga yang sia-sia akan selalu dicatat oleh malaikat yang setiap saat mengawasi kita. Seharusnya kita selalu merenungkan ayat berikut agar tidak serampangan mengeluarkan kata-kata dari lisan ini. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ”Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaaf [50] : 18). Ucapan dalam ayat ini bersifat umum. Oleh karena itu, bukan perkataan yang baik dan buruk saja yang akan dicatat oleh malaikat, tetapi termasuk juga kata-kata yang tidak bermanfaat atau sia-sia. (Lihat Tafsir Syaikh Ibnu Utsaimin pada Surat Qaaf)
Kita dapat melihat contoh ulama yang selalu menjaga lisannya bahkan sampai dalam keadaan sakit. Imam Ahmad pernah didatangi oleh seseorang dan beliau dalam keadaan sakit. Kemudian beliau merintih karena sakit yang dideritanya. Lalu ada yang berkata kepadanya (yaitu Thowus, seorang tabi’in yang terkenal), “Sesungguhnya rintihan sakit juga dicatat (oleh malaikat).” Setelah mendengar nasehat itu, Imam Ahmad langsung diam, tidak merintih. Beliau takut jika merintih sakit, rintihannya tersebut akan dicatat oleh malaikat. (Silsilah Liqo’at Al Bab Al Maftuh, 11/5)
Lihatlah saudaraku, bentuk rintihan seperti ini saja dicatat oleh malaikat, apalagi ketergelinciran lisan yang lebih dari itu.
Ibnu Mas'ud mengatakan, "Tidak ada yang lebih pantas dipenjara dalam waktu yang lama melainkan lisanku ini." (Mukhtashor Minhajil Qoshidin, hal. 165, Maktabah Darul Bayan)

Di Antara Ketergilincaran Lisan
[Pertama] Mencela Makhluk yang Tidak Dapat Berbuat Apa-apa
Misalnya dengan mengatakan, ‘Bencana ini bisa terjadi karena bulan ini adalah bulan Suro’ atau mengatakan ‘Sialan!Gara-gara angin ribut ini, kita gagal panen’ atau dengan mengatakan pula, ‘Aduh!! hujan lagi, hujan lagi’.
Lidah ini begitu mudah mengucapkan perkataan seperti ini. Padahal makhluk yang kita cela tersebut tidak mampu berbuat apa-apa kecuali atas kehendak Allah. Mencaci waktu, angin, dan hujan, pada dasarnya telah mencaci, mengganggu dan menyakiti yang telah menciptakan dan mengatur mereka yaitu Allah Ta’ala.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah Ta'ala berfirman, ‘Manusia menyakiti Aku; dia mencaci maki masa (waktu), padahal Aku adalah pemilik dan pengatur masa. Aku-lah yang mengatur malam dan siang menjadi silih berganti.” (HR. Bukhari dan Muslim). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,”Janganlah kamu mencaci maki angin.” (HR. Tirmidzi, beliau mengatakan hasan shohih)

[Kedua] Seringnya Berdusta
Hal ini juga sering dilakukan oleh kita saat ini. Dalam mu’amalah saja seringkali seperti itu. Hanya ingin mendapat untung yang besar, seorang tukang bangunan rela berdusta. Harga semennya sebenarnya 30 ribu, namun tukang tersebut mengatakan pada juragannya bahwa harganya 40 ribu.
Begitu juga dalam mendidik anak, seringkali juga muncul perkataan dusta. Ketika seorang anak merengek, menangis terus-terusan. Untuk mendiamkannya, sang Ibu spontan mengatakan, “Iya, iya, nanti Mama akan belikan coklat di warung. Sekarang jangan nangis lagi.” Setelah anaknya diam, ibunya malah tidak memberikan dia apa-apa. Kelakuan ibu ini juga secara tidak langsung telah mengajarkan anaknya untuk berdusta. Jadi jangan salahkan anaknya, jika dewasa nanti, anaknya malah yang sering membohongi orang tuanya.
Saudaraku, bentuk pertama dan kedua ini sama-sama berkata dusta. Ingatlah bahwa perbuatan semacam ini termasuk ciri-ciri kemunafikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tanda orang munafik itu ada tiga : jika berkata, dia dusta; jika berjanji, dia menyelisinya; dan jika diberi amanat, dia berkhianat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Inilah di antara dua bentuk ketergelinciran lisan dan masih banyak sekali bentuk yang lainnya.

Berpikirlah Sebelum Berucap
Hendaklah seseorang berpikir dulu sebelum berbicara. Siapa tahu karena lisannya, dia akan dilempar ke neraka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya ada seorang hamba yang berbicara dengan suatu perkataan yang tidak dipikirkan bahayanya terlebih dahulu, sehingga membuatnya dilempar ke neraka dengan jarak yang lebih jauh dari pada jarak antara timur dan barat.” (HR. Muslim)
Ulama besar Syafi’iyyah, An Nawawi rahimahullah dalam Syarh Muslim tatkala menjelaskan hadits ini mengatakan, ”Ini merupakan dalil yang mendorong setiap orang agar selalu menjaga lisannya sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, ‘Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik dan jika tidak maka diamlah.’ (HR. Bukhari dan Muslim). Oleh karena itu, selayaknya setiap orang yang berbicara dengan suatu perkataan atau kalimat, hendaknya merenungkan dalam dirinya sebelum berucap. Jika memang ada manfaatnya, maka dia baru berbicara. Namun jika tidak, hendaklah dia menahan lisannya.”
Itulah manusia, dia menganggap perkataannya seperti itu tidak apa-apa, namun di sisi Allah itu adalah suatu perkara yang bukan sepele. Allah Ta’ala berfirman, “Kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar.” (QS. An Nur [24] : 15)
Dalam Tafsir Al Jalalain dikatakan bahwa orang-orang biasa menganggap perkara ini ringan. Namun, di sisi Allah perkara ini dosanya amatlah besar.

Dengan Lisan, Seseorang Bisa Ditinggikan Derajatnya
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya ada seorang hamba berbicara dengan suatu perkataan yang tidak dia pikirkan lalu Allah mengangkat derajatnya disebabkan perkataannya itu.” (HR. Bukhari)
Ketinggian derajat di sini bisa diperoleh jika lisan selalu diarahkan pada perkara kebaikan, di antaranya dengan berdo’a, membaca Al Qur’an, berdakwah di jalan Allah, mengajarkan orang lain di majelis ilmu dan lain sebagainya. Atau dengan kata lain, ketinggian derajat tersebut bisa diperoleh dengan mengarahkan lisan pada perkara-perkara yang Allah ridhoi. (Lihat Nashihatu Linnisa’, hal. 20)
 sumber: http://remajaislam.com/islam-dasar/akhlaq-mulia/46-hati-hati-dengan-lisanmu.html

Jangan Sampai Tinggalkan Shalat Lima Waktu

Tak kenal maka tak sayang. Peribahasa ini nampaknya menjadi sebab utama, kenapa banyak dari kaum muslimin tidak mengerjakan shalat. Tak usah jauh-jauh untuk melaksanakan sholat sunnah, sholat 5 waktu yang wajib saja mereka tidak kerjakan padahal cukup 10 menit waktu yang diperlukan untuk melaksanakan shalat dengan khusyuk. Bukan sesuatu yang mengherankan, banyak kaum muslimin bekerja banting tulang sejak matahari terbit hingga terbenam. Pertanyaannya, kenapa mereka melakukan hal itu? Karena mereka mengetahui bahwa hidup perlu makan, makan perlu uang, dan uang hanya didapat jika bekerja. Karena mereka mengetahui keutamaan bekerja keras, maka mereka pun melakukannya. Oleh karena itu, dalam tulisan yang singkat ini, kami akan mengemukakan pembahasan keutamaan shalat lima waktu dan hukum meninggalkannya. Semoga dengan sedikit goresan tinta ini dapat memotivasi kaum muslimin sekalian untuk selalu memperhatikan rukun Islam yang teramat mulia ini.
Kedudukan Shalat dalam Islam
Shalat memiliki kedudukan yang agung dalam islam. Kita dapat melihat keutamaan shalat tersebut dalam beberapa point berikut ini[1].
1) Shalat adalah kewajiban paling utama setelah dua kalimat syahadat dan merupakan salah satu rukun islam
Rasulullah shallallahu alaihi wa salam bersabda, “Islam itu dibangun di atas lima perkara, yaitu: bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, mengeluarkan zakat, mengerjakan haji ke Baitulloh, dan berpuasa pada bulan Ramadhan.”[2]
2) Shalat merupakan pembeda antara muslim dan kafir
Rasulullah shallallahu alaihi wa salam bersabda, “Sesungguhnya batasan antara seseorang dengan kekafiran dan kesyirikan adalah shalat. Barangsiapa meninggalkan shalat, maka ia kafir” [3]. Salah seorang tabi’in bernama Abdullah bin Syaqiq rahimahullah berkata, “Dulu para shahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah menganggap suatu amal yang apabila ditinggalkan menyebabkan kafir kecuali shalat.”[4]
3) Shalat adalah tiang agama dan agama seseorang tidak tegak kecuali dengan menegakkan shalat
Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Inti (pokok) segala perkara adalah Islam dan tiangnya (penopangnya) adalah shalat.”[5]
4) Amalan yang pertama kali akan dihisab pada hari kiamat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya amal hamba yang pertama kali akan dihisab pada hari kiamat adalah shalatnya. Apabila shalatnya baik, dia akan mendapatkan keberuntungan dan keselamatan. Apabila shalatnya rusak, dia akan menyesal dan merugi. Jika ada yang kurang dari shalat wajibnya, Allah Tabaroka wa Ta’ala  mengatakan,’Lihatlah apakah pada hamba tersebut memiliki amalan shalat sunnah?’ Maka shalat sunnah tersebut akan menyempurnakan shalat wajibnya yang kurang. Begitu juga amalan lainnya seperti itu.”  Dalam riwayat lainnya, ”Kemudian zakat akan (diperhitungkan) seperti itu. Kemudian amalan lainnya akan dihisab seperti itu pula.”[6]
5) Shalat merupakan Penjaga Darah dan Harta Seseorang
Rasulullah shalallahu alaihi wa salam bersabda, ”Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mau mengucapkan laa ilaaha illalloh (Tiada sesembahan yang haq kecuali Allah), menegakkan shalat, dan membayar zakat. Apabila mereka telah melakukan semua itu, berarti mereka telah memelihara harta dan jiwanya dariku kecuali ada alasan yang hak menurut Islam (bagiku untuk memerangi mereka) dan kelak perhitungannya terserah kepada Allah Ta’ala.”[7]
Keutamaan Mengerjakan Shalat 5 waktu
Shalat memiliki keutamaan-keutamaan berupa pahala, ampunan dan berbagai keuntungan yang Allah sediakan bagi orang yang menegakkan sholat dan rukun-rukunnnya dan lebih utama lagi apabila sunnah-sunnah sholat 5 waktu dikerjakan, diantara keutamaan-keutamaan tersebut adalah:
1) Mendapatkan cinta dan ridho Allah
Orang yang mengerjakan shalat berarti menjalankan perintah Allah, maka ia pantas mendapatkan cinta dan keridhoan Allah. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah (wahai muhammad): “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31)
2) Selamat dari api neraka dan masuk kedalam surga
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, Maka Sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (QS. Al Ahzab: 71). Syaikh Abu Bakr Jabir Al Jazairi Rahimahullahu ta’ala berkata, “Yang dimaksud dengan kemenangan dalam ayat ini adalah selamat dari api neraka dan masuk kedalam surga”[8]. Dan melaksanakan sholat termasuk mentaati Allah dan Rasul-Nya.
3) Pewaris surga Firdaus dan kekal di dalamnya
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh beruntung orang-orang yang beriman dan orang-orang yang memelihara sholatnya mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi syurga Firdaus. mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al Mu’minun: 1-11)
4) Pelaku shalat disifati sebagai seorang muslim yang beriman dan bertaqwa
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.” (QS. Al Baqarah: 2-3)
5) Akan mendapat ampunan dan pahala yang besar dari  Allah
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu’min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam keta’atannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al Ahzab: 35)
6) Shalat tempat meminta pertolongan kepada Allah sekaligus ciri orang yang khusyuk
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’.” (QS. Al Baqarah: 45)
7) Shalat mencegah hamba dari Perbuatan Keji dan Mungkar
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. Dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Ankabut: 45)
Hukum Meninggalkan Shalat
Di awal telah dijelaskan bahwa shalat merupakan tiang agama dan merupakan pembeda antara muslim dan kafir. Lalu bagaimanakah hukum meninggalkan shalat itu sendiri, apakah membuat seseorang itu kafir?
Perlu diketahui, para ulama telah sepakat (baca: ijma’) bahwa dosa meninggalkan shalat lima waktu lebih besar dari dosa-dosa besar lainnya. Ibnu Qayyim Al Jauziyah –rahimahullah- mengatakan, ”Kaum muslimin bersepakat bahwa meninggalkan shalat lima waktu dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, berzina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.”[9]
Adapun berbagai kasus orang yang meninggalkan shalat, kami dapat rinci sebagai berikut:
Kasus pertama: Meninggalkan shalat dengan mengingkari kewajibannya sebagaimana mungkin perkataan sebagian orang, ‘Sholat oleh, ora sholat oleh.’ [Kalau mau shalat boleh-boleh saja, tidak shalat juga tidak apa-apa]. Jika hal ini dilakukan dalam rangka mengingkari hukum wajibnya shalat, orang semacam ini dihukumi kafir tanpa ada perselisihan di antara para ulama.
Kasus kedua: Meninggalkan shalat dengan menganggap gampang dan tidak pernah melaksanakannya.  Bahkan ketika diajak untuk melaksanakannya, malah enggan. Maka orang semacam ini berlaku hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan kafirnya orang yang meninggalkan shalat. Inilah pendapat Imam Ahmad, Ishaq, mayoritas ulama salaf dari shahabat dan tabi’in. Contoh hadits mengenai masalah ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.”[10]
Kasus ketiga: Tidak rutin dalam melaksanakan shalat yaitu kadang shalat dan kadang tidak. Maka dia masih dihukumi muslim secara zhohir (yang nampak pada dirinya) dan tidak kafir. Inilah pendapat Ishaq bin Rohuwyah yaitu hendaklah bersikap lemah lembut terhadap orang semacam ini hingga dia kembali ke jalan yang benar. Wal ‘ibroh bilkhotimah (Hukuman baginya dilihat dari keadaan akhir hidupnya).[11]
Kasus keempat: Meninggalkan shalat dan tidak mengetahui bahwa meninggalkan shalat membuat orang kafir. Maka hukum bagi orang semacam ini adalah sebagaimana orang jahil (bodoh). Orang ini tidaklah dikafirkan disebabkan adanya kejahilan pada dirinya yang dinilai sebagai faktor penghalang untuk mendapatkan hukuman.
Kasus kelima: Mengerjakan shalat hingga keluar waktunya. Dia selalu rutin dalam melaksanakannya, namun sering mengerjakan di luar waktunya. Maka orang semacam ini tidaklah kafir, namun dia berdosa dan perbuatan ini sangat tercela sebagaimana Allah berfirman (yang artinya), “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS. Al Maa’un [107] : 4-5)[12]
Nasehat Berharga: Jangan Tinggalkan Shalatmu!
Amirul Mukminin, Umar bin Al Khoththob –radhiyallahu ‘anhu- mengatakan, “Sesungguhnya di antara perkara terpenting bagi kalian adalah shalat. Barangsiapa menjaga shalat, berarti dia telah menjaga agama. Barangsiapa yang menyia-nyiakannya, maka untuk amalan lainnya akan lebih disia-siakan lagi. Tidak ada bagian dalam Islam, bagi orang yang meninggalkan shalat.“
Imam Ahmad –rahimahullah- juga mengatakan perkataan yang serupa, “Setiap orang yang meremehkan perkara shalat, berarti telah meremehkan agama. Seseorang memiliki bagian dalam Islam sebanding dengan penjagaannya terhadap shalat lima waktu. Seseorang yang dikatakan semangat dalam Islam adalah orang yang betul-betul memperhatikan shalat lima waktu. Kenalilah dirimu, wahai hamba Allah. Waspadalah! Janganlah engkau menemui Allah, sedangkan engkau tidak memiliki bagian dalam Islam. Kadar Islam dalam hatimu, sesuai dengan kadar shalat dalam hatimu.“[13]
Ibnul Qoyyim mengatakan, “Iman adalah dengan membenarkan (tashdiq). Namun bukan hanya sekedar membenarkan (meyakini) saja, tanpa melaksanakannya (inqiyad). Kalau iman hanyalah membenarkan (tashdiq) saja, tentu iblis, Fir’aun dan kaumnya, kaum sholeh, dan orang Yahudi yang membenarkan bahwa Muhammad adalah utusan Allah (mereka meyakini  hal ini sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka), tentu mereka semua akan disebut orang yang beriman (mu’min-mushoddiq).“[14]

sumber: http://remajaislam.com/islam-dasar/fiqih-remaja/27-jangan-sampai-tinggalkan-shalat-lima-waktu.html